Resume 9 Elemen Jurnalistik Bill Kovach & Tom Rosentiel
Sebuah buku
yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme.
HATI nurani
jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang
bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard
mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai
wartawan. Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The
Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya
sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan
The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan
membangun karirnya selama 18 tahun di sana.
Sedangkan
Tom Rosenstiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis
media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of
Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya
melakukan riset dan diskusi tentang media.
Dalam
buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme.
Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan
banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga
tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel
menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya,
paling membingungkan.
1.
Elemen
jurnalisme yang pertama adalah kebenaran
Kebenaran
yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda?
Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran
yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi.
Kebenaran menurut siapa?
Bagaimana
dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena
latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau
agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang
berbeda-beda?
Kovach
dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Hal ini pula yang dilakukan
jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam
tataran fungsional. Semua ini adalah kebenaran fungsional.
2.
Loyalitas
pertamanya adalah kepada warga
Kovach
dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan
harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada
masyarakat?”
Pertanyaan
itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi
orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan
setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini
memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa
melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja.
Dan
di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan
perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat
justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Kovach
dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa
mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Dalam bisnis
media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau
pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga
(citizens).
3.
Esensi
dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi
Disiplin
mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru,
manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah
yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Kovach
dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai
tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada
kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik
perhatian penonton.
Lantas
bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan
dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel
menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap
wartawan tahu standar minimal verifikasi.
Orang
sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa
objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan,
sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang
nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?
Baginya,
metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan.
Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Sayang,
dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini
diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku
sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada
pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.
Kovach
dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
●
Jangan menambah atau mengarang apa pun;
●
Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
●
Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda
dalam melakukan reportase;
●
Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
●
Bersikaplah rendah hati.
Kovach
dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan
metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara
skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat,
dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua,
memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu
daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”
●
Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
●
Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau
menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam
laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
●
Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
●
Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua
pihak sudah diberi hak untuk bicara?
●
Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus
terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan
ini lebih dari batas yang wajar?
●
Apa ada yang kurang?
●
Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang
mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang
bersangkutan?
Ketiga,
jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan
harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari
Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang
konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping
media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan
pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam
adalah saksi mata.
Metode
keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored
Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi
dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk
mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.
4.
Elemen
keempat: Independensi
Kovach
dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom
opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan
sikapnya dengan jelas. Kalau begitu wartawan boleh tak netral?
Menjadi
netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang
dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen
terhadap orang-orang yang mereka liput.
Independensi
ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan.
Latar
belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan
informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si
wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural
bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang
yang seragam.
Bersama-sama
wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi
sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah
metode buat menghasilkan liputan yang baik.
5.
Memantau
kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas
Memantau
kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau
dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan
dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Salah
satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah
jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah,
siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam
suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Salah
satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan
mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang
memakai istilah advocacy reportingbuat mengganti istilah investigative
reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa
salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa
dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius.
Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan
investigasi.
6.
Jurnalisme
sebagai forum publik
Kovach
dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang
tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan
pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta
minuman.
Jurnalisme
ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap
laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat
program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat
pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya,
komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan
roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat.
Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting
karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi
ditegakkan.
7.
Wartawan harus membuat hal yang penting menarik dan
relevan
Kovach
dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias,
dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu. Menulis
narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana
laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah
bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang
isu yang lebih relevan.
8.
Kewajiban
wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif
Kovach
dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak
proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional.
Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka.
Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Proporsional
serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita
mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama,
penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita
juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif
inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan
berita.
9.
Setiap
wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri
Menjalankan
prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas,
di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara.
Membolehkan
tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan
manajemen jadi lebih kompleks.
Menurut saya, kaitan media massa
sekarang ini dengan 9 Elemen Jurnalisme di ambang-ambang. Mengapa? Karena bisa
kita lihat sendiri pada elemen ke 1,2,5 dan 6 yang mana pada poin-poin tersebut
sangat berpihak kepada pembaca atau warga, tapi lihatlah pada kehidupan sosial
sekarang ini. Sudah banyak media massa yang seolah-olah, atau malah, mendukung
salah suatu pihak.
Dan
pada elemen ke-3, yang mana seorang jurnalis melakukan verifikasi sebelum
mempublikasikan suatu berita, sepertinya sudah banyak jurnalis yang ‘memanas-manaskan’
sebuah berita yang tidak nyata untuk kepentingan semata.
Intinya,
jurnalis sekarang berada di ambang batas kenyataan dengan elemen yang sudah menjadi
hakikatnya.
Sumber:
The
Elements of Journalism – Bill Kovach&Tom Rosenstiel
A9ama Saya adalah Jurnalisme – Andreas Harsono
A9ama Saya adalah Jurnalisme – Andreas Harsono
Komentar
Posting Komentar